1. Tokyo Drift
Setelah “The Chronicles of Riddick” (2004) yang punya bujet $105 juta ternyata hanya sanggup menghasilkan $115 juta dari peredarannya di seluruh dunia, Universal Pictures memutuskan untuk menghentikan kelanjutan franchise Riddick atas pertimbangan bisnis. Tetapi, bukannya menyerah, Vin Diesel yang punya rencana jangka panjang dengan seri film ini ternyata mengambil langkah cerdas dan mengambil hak untuk memfilmkan kisah Riddick kembali padanya. Caranya?
Pada saat Universal mulai kehilangan arah dengan “The Fast and the Furious: Tokyo Drift” (2006), mereka membutuhkan Diesel untuk tampil sebagai cameo untuk menyegarkan kembali franchise tersebut dan memberi harapan pada para penggemar bahwa Dominic Toretto akan kembali di seri keempatnya. Melihat bahwa Universal sudah tidak mau berurusan dengan Riddick, Diesel menawarkan untuk hadir sebagai cameo dalam “The Fast and the Furious: Tokyo Drift” tanpa dibayar. Sebagai imbalan, ia hanya ingin agar hak memfilmkan Riddick jatuh ke tangannya. Universal pun menyetujuinya.
2. Diusir dari Montreal
Setelah mendapatkan hak untuk membuat “Riddick”, Diesel dan David Twohy pun kembali bekerja sama untuk membuat film ketiga dari franchise ini melalui jalur independen. Tak hanya harus melalui jalan terjal untuk membiayai “Riddick” yang punya bujet $38 juta, produksi film independen ini pun mengalami masalah serius karena urusan birokrasi.
Produksi film “Riddick” sudah dimulai di Montreal pada musim gugur tahun 2011. Tetapi, masalah dengan surat-surat membuat semua aktivitas terhenti karena pinjaman bank mereka belum cair, dan mereka pun didepak dari lokasi tersebut.
“Jadi pada dasarnya kami diusir dari Montreal selama dua atau tiga bulan, hanya untuk melengkapi surat-surat kami, lalu kembali ke sana dan memulainya lagi di sebuah tempat baru di Montreal pada musim semi 2012,” kata Twohy pada First Showing. Sementara uang pinjaman mereka belum turun, Diesel gunakan uang pribadi untuk membiayai film ini. Karena kehilangan banyak waktu gara-gara hal ini, Twohy pun harus menggunakan waktu seefisien mungkin. Akhirnya, syuting film “Riddick” selesai hanya dalam 48 hari saja. “Pitch Black” sendiri baru selesai dalam 65 hari, dan “The Chronicles of Riddick” butuh 85 hari.
3. Cahaya
Karena harus menggunakan set dalam ruangan untuk menggambarkan kondisi alam di planet dimana Riddick terdampar, Twohy dan sang sinematografer, David Eggby, merasa bahwa menghadirkan cahaya yang natural merupakan sesuatu yang agak sulit. Berbekal pengalaman dari film-film sebelumnya, Eggby akhirnya mengandalkan bermeter-meter lamé berwarna emas sebagai kain reflektor untuk menghasilkan cahaya sesuai dengan kebutuhan mereka.
4. Petra
Tempat di mana Riddick bersembunyi setelah pertama kali menemui berbagai makhluk berbahaya setelah dirinya ditinggalkan di sebuah planet tandus ternyata dirancang sebagai sebuah kuil atau tempat pemujaan. Tempat yang sudah tidak terawat ini kini hanya puing-puing yang berada di sebuah gunung. Untuk merancang set ini, tim produksinya terinspirasi dari bangunan Petra yang ada di Yordania.
5. Tundra
Tidak seperti “Pitch Black” yang masih menggunakan set luar ruangan, “Riddick” harus dibuat dengan set dalam ruangan karena terhalang salju di Kanada. Meski demikian, desain untuk set-set dalam ruangan ini masih mengandalkan inspirasi dari lokasi yang benar-benar ada. Untuk menggambarkan daerah tundra yang ada di filmnya, topografi yang dipilih oleh sang desainer produksi, Joseph C. Nemec, adalah sebuah daerah di utara Quebec yang dinamakan Kuujuaq.
Untuk membentuk set yang dibuat berdasarkan lingkungan yang ada di Kuujjuaq, tim produksi harus membuat campuran tanah yang ditambahkan bahan-bahan sintetis dan serat kaca. “Butuh sekitar sembilan truk berisi tanah dan kerikil untuk membentuk daratannya,” kata Nemec dalam catatan produksinya. “Kemudian kami menuangkan beton ke atas campuran ini. Lalu kami kembali lagi dengan lebih banyak tanah dan kerikil dan materi-materi yang dapat ditemukan di permukaan; yang mulai dapat menggambarkan kondisi sebuah tundra. Untuk menyelesaikannya, kami menggunakan kombinasi dari styrofoam yang dilapisi dengan plester, struktur kayu lain dengan serat kaca serta balutan bebatuan di atasnya. Terakhir, kami memberikan pelengkap pemandangan untuk membuatnya mirip dengan daerah bebatuan di Kuujjuaq.”
6. Boneka Jackal
Belajar dari “Pitch Black”, Twohy tidak lagi membuat makhluk-makhluk dalam filmnya dengan animatronik. Menurutnya, bila harus membuat desain makhluk yang dapat berkomunikasi serta dapat menggerakkan mata serta mulut, animatronik tidak dapat menghadirkannya dengan sempurna. Karena itu, makhluk mirip anjing yang ditampilkan dalam film “Riddick” pun dibuat dengan campuran CGI dan boneka.
“Untuk anak anjingnya, kami menggunakan boneka. Ia dapat merasakan beratnya – bonekanya terbuat dari silikon, jadi beratnya pas. Boneka ini punya detail yang cukup bagus, punya mata yang terbuat dari kaca dan juga berbulu,” kata Twohy dalam wawancaranya dengan ScreenRant. “Untuk anjing yang lebih besar, kami punya berbagai potongan. Ada anjing besar untuk efek digital – boneka binatang yang besar dan berwarna abu-abu – yang dibawa oleh orang-orang dan diletakkan untuk melihat bagaimana cahaya di set jatuh ke atas benda tersebut atau melihat bagaimana bayangannya yang benar. Ini juga untuk para aktor supaya mereka tahu seberapa besar anjingnya.”
7. Jet Hogs
Jet hogs di film ini yang terlihat seperti sepeda motor yang dapat melayang tadinya dirancang dengan tampilan yang lebih halus dan futuristik. Tetapi, untuk mempertahankan kesan retro dari film “Riddick”, kendaraan yang digunakan untuk bepergian dalam jarak dekat ini akhirnya digambarkan bermesin turbin udara dengan propulsi jet.
8. Pesawat Para Pembunuh Bayaran
Sama seperti desain jet hogs, pesawat-pesawat yang ada dalam film “Riddick” juga tadinya punya desain yang lebih elegan. Tetapi, berbagai kebutuhan yang muncul membuat rancangannya menjadi banyak diubah. “Kami memulai dengan sebuah desain yang sangat halus, tetapi kami tak dapat menemukan keseimbangannya. Kemudian kami melihat beberapa kapal perang Necromonger, tapi kami tidak merasa bahwa ini juga pas. Kami ingin sesuatu yang terlihat nyata, tetapi juga futuristik: sebuah kapal yang kelihatannya dapat terbang, dapat naik dan mendarat secara vertikal, dan juga dapat bepergian melalui ruang angkasa,” kata Nemec.
9. Rating R
Rating terkadang menjadi penentu hidup matinya sebuah film. Menurut Vin Diesel, franchise Riddick tak akan sukses dibangkitkan bila para penggemarnya tidak meminta film lanjutannya dibuat dengan rating R (dewasa).
“Studio tidak mau membuatnya, tidak ada lagi orang yang membuatnya [film dengan rating R]. Anda bisa menghitung dengan jari berapa banyak jumlah film dengan rating R yang diputar di banyak tempat. Jumlahnya sangat sedikit,” kata Diesel dalam wawancaranya dengan Collider. “Bahkan, kami adalah korban dari apa yang ada dalam rute studio itu dengan Chronicles of Riddick. Bujet menggelembung, dan kami memulainya dengan berpikir bahwa kami akan membuat film dengan rating R, dan hal pertama yang mereka cabut adalah rating R-nya. Anda mau menghabiskan sebegitu banyak uang? Anda mau mengembangkan mitologinya dengan cara seperti itu? Anda harus mengatur ulang bagaimana cara untuk memproduksi filmnya supaya bisa mendapat rating PG.”
Dengan memproduksi “Riddick” di luar sistem studio, Diesel dan Twohy mampu untuk menghasilkan film tanpa banyak kompromi, dan tentu saja dengan rating R. Hasilnya, para penggemar “Pitch Black” menyambut film ini dengan cukup baik, dan debutnya di awal bulan September ternyata mencapai angka yang lumayan.
10. Universal Pictures
Kisah antara Riddick dan Universal ternyata tidak berhenti dengan perpindahan hak filmnya pada Vin Diesel. Setelah Diesel dan Twohy memutuskan untuk memproduksi “Riddick” secara independen, ternyata hubungan baik antara Universal dan sang aktor plontos mengubah situasi.
“Jadi pada akhirnya kami membuatnya sebagai film independen. Saya menulis sebuah spec script. Kami menjualnya di Berlin untuk pasar internasional. Lalu kami kembali ke Amerika untuk mencari partner domestik. Saya pikir tadinya kami akan bekerja sama dengan Sony atau Film District – keduanya ingin sekali untuk mendapatkan film ini. Dan kemudian, coba tebak? Universal pun mengajukan diri, ‘Jadi bagaimana dengan kami?’ Dan saya bilang, ‘Ini rasanya tak enak buat saya.’ Tapi Vin berkata, ‘Itu ‘kan dulu, sekarang ‘kan lain.’ Jadi dengan franchise “Fast and Furious” serta hubungannya dengan Universal, kami akhirnya menyerahkannya lagi pada Universal. Jadi, perusahaan yang tadinya sudah mendepak kami kemudian mengambil lagi film tersebut dan akan mendistribusikannya di Amerika Serikat dan Kanada,” ungkap Twohy pada Huffington Post.