Tidak semua film adaptasi novel remaja dibuat setia dengan bukunya. Tetapi, merasa perlu untuk memulai “The Mortal Instruments: City of Bones” (2013) dengan langkah yang mantap, para pembuat filmnya mencoba untuk semaksimal mungkin menghormati materi sumbernya, termasuk dengan cara konsultasi dengan sang penulis novel, Cassandra Clare.
Tentu saja, niat baik tak selalu menghasilkan film yang baik. Tapi, setidaknya sang sutradara, Harald Zwart, sudah berusaha untuk menampilkan kota New York melalui kacamata fantasi dan sudah mendapat restu penuh dari sang pencipta dunia tersebut. Kalau suka dengan filmnya, ada beberapa hal menarik di belakang layar yang mungkin Anda ingin tahu. Berikut adalah sepuluh trivia film “The Mortal Instruments: City of Bones”:
Tentu saja, niat baik tak selalu menghasilkan film yang baik. Tapi, setidaknya sang sutradara, Harald Zwart, sudah berusaha untuk menampilkan kota New York melalui kacamata fantasi dan sudah mendapat restu penuh dari sang pencipta dunia tersebut. Kalau suka dengan filmnya, ada beberapa hal menarik di belakang layar yang mungkin Anda ingin tahu. Berikut adalah sepuluh trivia film “The Mortal Instruments: City of Bones”:
1. Dungeons and Dragons
Banyak novel fantasi yang memiliki istilah khusus untuk menyebut hal-hal yang ada dalam bukunya. Dalam “The Mortal Instruments: City of Bones”, manusia biasa disebut sebagai kaum “mundane”. Dari mana Cassandra Clare mendapatkan inspirasi untuk menamai kaum nonsupernatural dengan sebutan ini?
“Mereka disebut sebagai ‘mundanes’. Saya mendapatkan sebutan ini dari seorang teman yang memainkan Dungeons and Dragons. Ini adalah sebutan bagi mereka yang tidak memainkan permainan ini. Saya pikir ini adalah sebutan yang bagus dan menggugah,” kata Clare menjelaskan dalam catatannya.
2. Lily Collins
Lily Collins terpilih memerankan karakter Clary Fray bukan hanya karena penampilannya saja. Collins yang merupakan penggemar seri buku karangan Clare ternyata secara aktif mencoba untuk bergabung dengan proyek film ini.
“Saya adalah penggemar buku-bukunya. Saya sudah membaca buku pertamanya dan mengetahui bahwa mereka akan membuatnya menjadi sebuah film, lalu saya langsung berkata, “Siapa yang akan membuat film ini? Bagaimana saya dapat bergabung?” Saya suka sekali karena Clary adalah sosok yang punya determinasi, setia, penuh semangat, bukan seorang korban, tidak didefinisikan oleh hal-hal yang ada di sekitarnya, serta tidak kehilangan arah dalam aksi atau drama atau romansa dalam ceritanya,” terangnya pada majalah Elle.
Selain itu, Collins menganggap bahwa “The Mortal Instruments: City of Bones” mengangkat tema yang jarang dapat ditemui dalam novel remaja karena fokusnya yang dekat pada sosok Clary serta ibunya, Jocelyn. “Saya sangat dekat dengan ibu saya, jadi karena filmnya bercerita tentang hubungan antara seorang gadis muda dengan ibunya saya dapat memahami ini, baik ketika ia berada dalam dunia fantasi maupun realita,” tambahnya.
3. Blade Runner
Tak sulit melihat bahwa “The Mortal Instruments: City of Bones” terinspirasi dari berbagai film lain. Bila pengaruh film “Harry Potter” cukup terasa disini, pengaruh dari film-film lain mungkin terlalu halus untuk dirasakan penonton. Tapi, menurut sang sutradara, Harald Zwart, memang ada beberapa judul lain yang membuatnya terispirasi. Salah satunya? “Blade Runner”.
“Salah satu inspirasi saya adalah kata-kata Rutger Hauer di akhir film Blade Runner,” kata Zwart dalam wawancaranya dengan ComingSoon.Net (http://www.comingsoon.net/news/movienews.php?id=107723). “Itu sangat menyedihkan serta sarat informasi dan memberi tahu Anda banyak hal mengenai dirinya dan dunianya. Itulah inspirasi saya – Blade Runner, dan The Exorcist, dan Harry Potter.”
4. 35mm
Dengan banyaknya adegan yang membutuhkan efek visual, banyak yang mengira bahwa “The Mortal Instruments: City of Bones” disyuting dengan kamera digital. Tetapi, Zwart ternyata memilih untuk menggunakan kamera film. Film ini disyuting dengan Panavision Scope di atas pita seluloid 35mm. Menurut Zwart, ia ingin membuat “The Mortal Instruments: City of Bones” punya tampilan klasik yang kaya. Baginya, penggunaan kamera film mampu mengangkat corak dan warna kulit yang membuat gambarnya terlihat istimewa.
5. Institute
Penggambaran bangunan sebesar Institute di New York tentu saja membutuhkan gabungan dari bermacam-macam lokasi yang kemudian dirombak menjadi ruangan-ruangan spesifik. Beberapa lokasi yang digunakan dalam film ini adalah Knox College, serta sebuah kastil abad pertengahan yang dinamakan Casa Loma. Ruangan yang paling sulit dibuat dalam Institute adalah perpustakaan dua lantainya. Karena tak menemukan lokasi pengganti, setnya pun harus dibangun selama 10 minggu dalam sebuah soundstage di Cinespace Stusios.
6. City of Bones
Silent Brothers tinggal dalam sebuah kota mati di bawah tanah yang disebut City of Bones. Dengan struktur yang demikian kompleks, mustahil bagi para pembuat filmnya untuk menemukan lokasi asli yang cukup representatif untuk digunakan. Karena itu, set untuk City of Bones pun harus dibangun sendiri. Meski demikian, set yang diinspirasi dari katakomba yang berada di bawah kota Paris ini tidak berbentuk koridor-koridor panjang. Setnya sengaja dibangun dengan bentuk lingkaran supaya penonton dapat mengamati lebih banyak sisi dari tempat ini.
7. Hotel Dumort
Bila banyak set yang ada di “The Mortal Instruments: City of Bones” harus dibangun sendiri karena terlalu rumit, Hotel Dumort yang digambarkan sebagai sebuah hotel mewah di Manhattan dengan gaya Art Deco justru adalah salah satu lokasi yang mudah untuk ditangani. Karena keberuntungan dan waktu yang pas, para pembuat filmnya menemukan sebuah hotel kosong yang bisa digunakan untuk syuting.
“Hotel Dumort merupakan penemuan untung-untungan,” kata sang produser, Don Carmody, dalam catatan produksi filmnya. “Tempat ini sudah kosong selama enam tahun dan jadi reyot, ditambah ada ribuan burung merpati yang bersarang di tempat ini. Para vandal telah memreteli semuanya yang ada di tempat ini. Kami harus membersihkannya supaya dapat bekerja di sana, lalu departemen seni pun harus mengotorinya lagi.”
“Ini hampir seperti sebuah soundstage yang telah diterlantarkan,” kata Francois Seguin, sang desainer produksi, menambahkan. “Seluruh strukturnya sudah ada di sana, seperti kanvas yang sudah dilukis setengahnya. Kami punya koridor dan tangga-tangga asli. Kami mendandani dan mengecatnya ulang, tapi kami sudah punya rangkanya dari awal.”
8. 60 Pedang Kaca
Para Shadowhunters memiliki senjata khusus berupa pedang kaca untuk membunuh iblis. Karena itu, sebanyak 60 pedang kaca diproduksi untuk film ini. Meski demikian, pedang-pedang ini tidak benar-benar terbuat dari kaca. Bila dipaksakan untuk dibuat dari kaca, tiap pedang akan punya berat sekitar 8,5 kilogram dan juga mudah pecah. Karena itu, pedang ini akhirnya dibuat dari akrilik yang dipoles sampai menjadi bening. Tapi ketika dibawa ke lokasi syuting ternyata pedang-pedang ini masih harus disesuaikan. Karena terlalu jernih warnanya, pedang-pedang ini terlihat baru dan palsu. Setelah ditambahkan warna dan penyesuaian lain, baru pedang-pedang ini akhirnya bisa dipakai.
9. Pencak Silat
Jonathan Rhys Meyers yang berperan sebagai Valentine Morgenstern tak hanya punya satu patokan gaya untuk mewarnai karakternya. Dari baju, rambut, sampai senjata yang digunakan Valentine punya pengaruh dari macam-macam kebudayaan. Terutama, kebudayaan timur. Selain itu, gaya berkelahi Valentine ternyata juga dipengaruhi oleh pencak silat.
“Saya berlatih dengan pedang Samurai dan épée dari abad ke-17,” kata Rhys Meyers dalam catatan produksinya. “Untuk perkelahian tangan kosong, kami menggunakan Pencak Silat, seni bela diri dari Indonesia serta Wing Chun, yang merupakan salah satu bentuk Kung Fu. Keduanya memanfaatkan kekuatan tubuh dari musuhnya untuk melawan mereka sendiri. Semuanya terasa elegan sampai ketika sudah berada di saat terakhir, ketika itu berubah menjadi membahayakan.”
10. Adegan Emosional
Walau berperan sebagai Jace Wayland yang tangguh, Jamie Campbell Bower tak bisa menyembunyikan rasa harunya ketika syuting “The Mortal Instruments: City of Bones”. Campbell mengakui bahwa ia sempat menangis di lokasi syuting ketika harus memfilmkan adegan emosional bersama Lily Collins.
“Saya menangis di akhir syuting filmnya,” kata Jamie dalam wawancaranya dengan Collider. “Kami memfilmkan adegan terakhir di hari terakhir syuting, jadi ini adalah cara yang enak untuk mengakhiri keseluruhan filmnya. Itu mungkin adalah momen favorit saya dengan semuanya, ketika kami berada disana bersama-sama, karena kami tidak tahu apakah kami akan bekerja sama lagi. Saya menikmati waktu saya bekerja dan bertemu dengan orang-orang ini, rasanya sedih.”